Ayo, Bangkit dan Lawan
Catatan Untuk Hari Anti Korupsi Sedunia
Oleh : Mohamad Ikhsan Tualeka
Koordinator Mollucas Democratization Watch (MDW)
Opini Ambon Ekspres, 9 Desember 2008
Hari ini, lima tahun yang lalu, tepatnya 9 Desember 2003, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendeklarasikan konvensi melawan korupsi atau United Nations Comvention Against Corruption (UNCAC). UNCAC adalah sebuah gerakan global untuk membasmi kangker korupsi. Momentum itu kemudian menjadi titik peringatan hari antikorupsi sedunia. Indonesia sendiri telah meratifikasi UNCAC menjadi Undang-undang nomor 7 tahun 2006.
Bukan tanpa alasan dunia memperingati hari anti korupsi, kemiskinan dan ketertinggalan sejumlah bangsa, ditandai dengan tingginya angka korupsi. Korupsi telah merampok upaya pemberantasan kemiskinan. Rendahnya Indeks Persepsi Korupsi (IPK) suatu negara selalu berbanding lurus dengan kemiskian dan ketertingalannya. Sebut saja Somalia, Azerbaijan, Kamerun, Etiophia, Liberia dan Uzbekistan merupakan negara-negara miskin yang selalu berada diposisi teratas sebagai negera terkorup versi Transparency International
Indonesia sendiri walaupun setiap tahun IPK-nya terus membaik, namun peringkatnya masih tergolong rendah. Tahun 2008 ini IPK Indonesia yang dikeluarkan Transparency International (TI) Indonesia sebesar 2,6 atau berada di peringkat 126 dari 180 negara. Negara dengan IPK tertinggi adalah Denmark dengan nilai IPK 9,3 sementara negara dengan IPK terendah yakni 1,0 adalah Somalia.
Tak ayal kemudian bangsa kita juga masih sulit merangkak dari keterpurukan, angka kemiskinan dan kesakitan masyarakat terus tinggi dan sulit ditekan. Anggaran negara yang memang harus dipotong untuk membayar hutang luar negeri pun sebagian akhirnya menguap akibat kualitas dan kuantitas korupsi masih terus meningkat dari tahun ke tahun. Meningkat dalam jumlah kasus dan jumlah kerugian uang negara. Juga semakin sistematis dan merasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat Indonesia.
Lihat saja, lembaga peradilan sebagai unjung tombak pemberantasan korupsi pun tak luput dari praktek korupsi. Kasus penyuapan jaksa Urip Tri Gunawan, yang kemudian dalam persidangan ikut menyeret nama sejumlah jaksa senior di Kejaksaan Agung, meski mereka belum tentu terlibat, namun setidaknya peristiwa itu menggambarkan mentalitas aparat penegak hukum kita. Kasus ini menegaskan adanya praktek mafia peradilan.
Selain di lingkungan peradilan, korupsi menjalar hampir ke seluruh lembaga negara. Berdasarkan data Pusat Kajian Anti Korupsi (PuKAT) Fakultas Hukum UGM, di tahun 2007, korupsi yang terjadi dibanyak sektor didominasi oleh korupsi kepala daearah. Yakni 69 orang yang terdiri dari 7 Gubernur, 47 Bupati, 6 Walikota, 6 Wakil Bupati dan 3 Wakil Walikota, yang tersangkut dugaan kasus korupsi.
Lembaga legislatif juga tak kentinggalan, sejumlah aggota DPR RI dan DPRD di berbagai daerah, menabah daftar panjang pejabat korup di negeri ini. Korupsi yang semakin luas dan sistimatis ini, tentu membuat siapa pun prihatin – kecuali yang menikmati hasilnya. Padahal korupsi sejatinya tidak semata-mata merugikan keuangan negara, tapi lebih dari itu hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat telah dilanggar, wajar kalau korupsi digolongkan sebagai extraordinary cirme.
Dari sisi kerugian negara, data dari Badan Pemeriksa Keuangan Pembangunan (BPKP) cukup mengejutkan. Dalam kurun waktu kurang dari lima tahun, yakni dari tahun 2004-2007, hasil audit investigasi BPKP menemukan adanya kerugian negara akibat korupsi hingga Rp. 1,9 triliun. Sekitar 75 persennya berkaitan dengan proyek pengadaan barang dan jasa. Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebutkan negara kehilangan Rp. 36 triliun per tahun akibat kelalaian pengadaan barang dan jasa. Sedangkan data terbaru dari Indonesian Corruption Watch (ICW) menyebutkan selama kurun waktu tiga tahun terakhir, kerugian negara akibat tindak pidana korupsi mencapai Rp 24 triliun.
Bagaimana dengan Maluku? Di negeri para raja ini, angka korupsi tergolong tinggi, ditandai dengan banyaknya laporan masyarakat terkait kasus korupsi. Sayang, banyaknya laporan ternyata berbanding terbalik dengan kualitas penanganannya, sekalipun di tahun 2008 ini sudah dua kepala dinas propinsi dan satu kapala dinas kota yang didakwa terkait korupsi, namun sejumlah kasus korupsi dengan angka kerugian negara yang cukup besar belum tertangani dengan serius.
Dalam catatan Mollucas Democratization Watch (MDW), sejumlah kasus korupsi di Maluku yang sampai saat ini tidak jelas penanganannya ternyata meliputi spektrum yang luas, di Level propinsi, eksekutif tersandung kasus korupsi dana Inpres No.06, tahun 2003 senilai 2,1 triliun dan dana keserasian senilai 35,5 miliar. Lembaga legislatifnya periode 2004-2009 terseret kasus Tunjangan Komunikasi Intensif (TKI) senilai 5,3 miliar, Sedangkan kasus pembangunan kantor DPRD Maluku senilai 49 miliar, melibatkan kedua lembaga ini.
Perguruan tinggi juga tak ketinggalan, di Universitas Pattimura Ambon, merebak kasus proyek pengadaan laboraturium MIPA senilai Rp 800 juta, kasus pengadaan genset senilai Rp 8 miliar, dan kasus suap saat pemilihan rektor senilai 1,1 miliar. Sedangkan di level kabupetan/kota: kasus pengadaan 6 buah unit kapal di Kabupetan Maluku Tenggara Barat senilai 2, 7 miliar dan kasus lapangan terbang (lapter); di Seram Bagian Timur kasus proyek jalan Dawang-Masiwang senilai 10, 4 miliar; dan kasus gerhan senilai 1, 3 miliar di Kabupaten Aru.
Itu baru kasus yang tergolong besar, belum terhitung sejumlah kasus lainnya, sekalipun dengan total anggaran yang relatif kecil. Lambatnya penanganan terhadap kasus korupsi di Maluku memunculkan pelbagai spekulasi, banyaknya unjuk rasa masyarakat di kantor Kejaksaan Tinggi (kejati) Maluku adalah cermin ketidakpuasan publik atas kinerja mereka. Belakangan muncul isu pemerasan yang melibatkan sejumlah jaksa di Kejati Maluku, semakin mempertegas bahwa mafia peradilan juga telah menjalar sampai ke daerah.
Dalam realitas semacam ini, tentu kita tidak boleh pesimis, justru optimisme harus menyeruak. Saatnya bangkit dan menjadikan korupsi sebagi musuh bersama (common enemy), melawan korupsi jangan lagi sebatas wacana dan sekedar menjadi diskusi formal maupun informal di warung-warung kopi. Kerjasama, sinergitas dan kemauan besar masyarakat untuk bebas dari korupsi serta mendorong lembaga hukum untuk bekerja lebih optimal dapat menumbuhkan optimisme itu. Sebab, jika tetap disuarakan besama-sama oleh seluas mungkin kalangan dan berdasarkan semangat kolektif, tidak mustahil gerakan anti korupsi dapat menjelma menjadi senjata ampuh dan kekuatannya menggentarkan.
Sekalipun masih membutuhkan waktu. Karena gerakan semacam ini mensyaratkan kultur yang kondusif. Kultur yang dimaksud adalah kesadaran masyarakat yang mengalami pencerahan dan menyadari hak dan kewajibannya untuk berpartisipasi menjadi watchdog dalam memantau proses perencanaan, penyelenggaraan dan kontrol terhadap pemerintah daerah yang berwenang mengelola keuangan daerah. Dukungan seluruh komponen masyarakat Maluku sangat diperlukan. Paling tidak dengan menjadi masing-masing individu warga negara yang dapat mengembangkan prinsip kejujuran, amanah, solidaritas, transparansi, akuntabilitas, dan keadilan – dapat diretas altruisme dan solidaritas sosial demi kemajuan peradaban orang Maluku yang adil dan makmur. Ayo, bangkit dan lawan korupsi. * * *